iga kewajiban karyawan yang penting
Kewajiban ketaatan
Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu
implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi
perintah dan petunjuk dari atasannya. Tetapi, karyawan tidak perlu dan
malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu
yang tidak bermoral. Selain itu karyawan tidak wajib juga mematuhi
perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada
keberatan. Kemudian, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang
memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan
yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.
Kewajiban konfidensialitas
Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi
yang bersifat konfidensial dan kareana itu rahasia yang telah diperoleh
dengan menjalankan suatu profesi. Konfidensialitas berasal dari kata
Latin confidere yang berarti mempercayai. Dalam konteks perusahaan
konfidensialitas memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada
suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses kepada informasi
rahasia. Sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa karyawan harus
menyimpan rahasia perusahaan karena alasan etika mendasari kewajiban ini
yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka
rahasia itu berarti sama saja dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada
barang fisik saja, tetapi meliputi juga ide, pikiran, atau temuan
seseorang. Dengan kata lain, disamping milik fisik terdapat juga milik
intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan
adalah intellectual property rights dari perusahaan. Alasan kedua
adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar
bebas.
Kewajiban loyalitas
Kewajiban loyalitas
pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan
perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus
mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia
melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan
karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan
dengannya. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa
merugikan kepentingan perusahaan.
Faktor utama yang bisa
membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan artinya
konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan.
Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersain dengan
kepentingan perusahaan. Karena bahay konflik kepentingan potensial itu,
beberapa jenis pekerjaan tidak boleh dirangkap.
Dalam
konteks ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi / hadiah
selaku karyawan perusahaan. Masalh komisi berkaitan erat dengan apa yang
sekarang dikenal sebagai triade “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)”.
Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar tergantung dari sikap
yang diambil perusahaan bersangkutan. Begitupun tantang hadiah yang
diberikan oleh perusahaan / intansi lain kepada karyawan waktu
menjalankan tugasnya. Hal itu dimaksudakan untuk mempengaruhi karyawan
tersebut. Jalan keluarnya pun dengan membuat peraturan yang jelas dalam
kode etik perusahaan / dengan cara lain.
Selain memiliki
kewajiban karyawan pun memiliki hak.Hak itu dicantumkan dalam kontrak
kerja, dimana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahaukan
satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan
mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan perusahaan. Kewajiban
loyalitas memang tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja.
Melaporkan kesalahan perusahaan
Dalam etika, whistle blowing mendapat arti khusus yaitu menarik
perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh
sebuah organisasi. Dalam rangka bisnis whistle blowing dibagi menjadi
whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal. Whistle blowing
internal dimengerti pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri
dengan melewati atasan langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal
adalah pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar
perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat
melalui media komunikasi.
Pelaporan kesalahan perusahaan itu
dinilai dengan cara yang sangat berbeda. Di satu pihak seorang whistle
blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai
moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Dilain pihak
justru disebut sebagai penghianat, karena ia mengekspos kejelekan dari
perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat
merugikan kepentingan perusahaan.
Dari sudut pandang etika
jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas. Kalau memang
diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam
bidang kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih
mendesak. Jadi, kadang-kadang mungkin ada kewajiban untuk melaporkan
suatu kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit sekali
untuk memastikan kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi.
Pada kenyataannya hati nurani si pelapor harus memutuskan hal itu,
setelah mempertimbangkan semua faktor terkait. Pelaporan bisa dibenarkan
secara moral, bila memenuhi syarat berikut :
Kesalahan perussahaan harus besar
Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.
Penyelesdaiaan masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar.
Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
Adanya
whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam
menjalankan kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan
mempunyai kebijakan etika yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan
sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu terjadi.
ς 2. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan
Berturut-turut akan dibicarakan tentang kewajiban perusahaan
untuk tidak diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan
kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas dan untuk tidak
memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Kewajiban perusahaan
biasanya sepadan dengan hak karyawan.
Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi
Diskriminasi adalah masalah etis yang baru nampak dengan jelas dalam
paro kedua dari abad ke 20. Biasanya mengenai warna kulit dan gender
(jenis kelamin). Di Indonesia diskriminasi timbul berhubungan dengan
status asli / tidak asli, pribumi / non-pribumi, dari para warga negara
dan agama.
Diskriminasi dalam konteks perusahaan
Istilah diskriminasi berasal dari bahas Latin “discernee” yang berarti
membedakan, memisahkan, memilah. Dalam konteks perusahaan diskriminasi
dimaksudkan membedakan antara pelbagai karyawan karena alasan tidak
relevan yang berakar dari prasangka. Membedakan antara karyawan tentu
sering terjadi karena alasan yang sah. Dalam menerima karyawan baru,
perusahaan sering menentukan syarat seperti mempunyai pengalaman kerja
sekian tahun, memiliki ijazah S-1 (malah bisa ditambah dengan IPK
minimal 2,75), menguasai bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis dll.
Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus
akhir tahun karena lebih berprestasi daripada karyawan lainnya. Hal-hal
diatas adalah alasan yang relevan.
Bila beberapa karyawan
diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan yang tidak relevan.
Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhdap
ras, agama atau jenis kelamin bersangkutan. Dengan kata lain, latar
belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme
/ seksisme.
Argumentasi etika melawan diskriminasi
1). Dari
pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan
perusahaan itu sendiri. Terutama dalm rangka pasar bebas, menjadi sangat
mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang menjamin
produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia
menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan
memperhatikan faktor-faktor lain selain kualitas karyawan ia bisa
ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Karena itu
perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.
2) Deontologi berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat
dari orang yang didikriminasi.Berarti tidak menghormati martabat
manusia yang merupakan suatu pelanggaran etika yang berat.
3)
Teori keadilan berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan
dengan keadilan, khususnya keadilan distributif / keadilan membagi.
Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang
dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk
memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Pikiran itu sudah dikenal
sebagai prinsip moral keadilan distributif.
Beberapa masalah terkait
Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah
karena kondisi historis, sosial / budaya dalam masyarakat. Karena
keterkaitan dengan faktor sejarah dan sosio-budaya ini, masalah
diskriminasi tidak bisa ditangani dengan pendekatan hitam putih. Artinya
tergantung dengan tempatnya sehingga bersifat relativitas.
Dalam konteks perusahaan, favoritisme dimaksudkan kecenderungan untuk
mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi
karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus dll. Seperti
diskriminasi, favoritisme pun memperlukan orang dengan cara tidak sama,
tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak terjadi karena
prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif
(mengutamakan orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila
perusahaan mengutamakan karyawan yang berhubungan famili, berasal dari
daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dll. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik
dari sudut pandang etika. Dengan itu pula lebih mudah dihindari
nepotisme, yang bertentangan dengan keadilan distributif. Tetapi sulit
untuk ditentukan pada saat mana favoritisme pasti melewati ambang
toleransi etika.
Untuk menanggulangi akibat diskriminasi,
kini lebih banyak dipakai istilah affirmative action “aksi afirmatif”.
Melalui aksi itu orang mencoba mengatasi / mengurangi ketertinggalan
golongan yang dulunya di diskriminasi.
Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja
a) Beberapa aspek keselamatan kerja
Keselamatan kerja dapat terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan
tempat kerja itu aman kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang
mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat
direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja
bisa dianggap sehat kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan
kesehatan / penyakit.
Di Indonesia masalah keselamatan dan
kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan mempunyai
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Sedangkan di
Amerika Serikat didirikan Occupational Safety and Health Administration
(OSHA) untuk mengawaasi pelaksanaan UU yang bertujuan untuk to assure
as far as possible every working man and woman in the nation safe and
healthful working conditions.
b) Pertimbangan etika
Tiga pendasaran segi etika dari masalah perlindungan kaum pekerja.
The right of survival (hak untuk hidup)
Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.
Kewajiban
etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan
terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses
produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat.
Kebebasan si
pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan beresiko. Si
pekerja sendiri harus mengambil resiko dengan sukarela. Tetapi supaya
si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini, perlu beberapa syarat :
Harus tersedia pekerjaan alternatif.
Diberi informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya sebelum si pekerja mulai bekerja.
Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin.
c) Dua masalah khusus
Si
pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi
tentang risiko bagi pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan
kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang lebih tinggi) dan resiko bagi
keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk
dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih
rendah. Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan,
terkadang secara tidak langsung terlihat memaksakan kepada para pekerja
jika didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari pekerjaan
lain menjadi sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki
alternatif lain dan akhirnya bertahan dengan resiko yang tidak kecil.
Kewajiban memberi gaji yang adil
Motivasi seseorang untuk bekerja tidak lepas dari untuk mengembangkan
diri, memberi sumbangsih yang berguna bagi pembangunan masyarakat namun
yang sangat penting adalah untuk memperoleh upah atau gaji. Namun dalam
gerakan sosial zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok
perjuangan yang utama.
Menurut keadilan distributif
Gaji / upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan
keadilan, khususnya keadilan distributif. Di kebanyakan negara modern,
dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan
lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan
gaji yang adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperan.Prinsip
perrtama adalah bagian yang sama. Supaya adil, gaji semua karyawan
memang tidak perlu sama, tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu
besar. Jelas pemerataan pendapatan adalah tuntutan etis yang berkaitan
dengan prinsip ini. Prinsip-prinsip hak, usaha dan kontribusi kepada
masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil. Dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia masalah gaji yang adil disinggung juga. Adil tidaknya gaji
menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih
luas daripada take home pay saja. Fasilitas khusus seperti rumah,
kendaraan, bantuan beras dll harus dipandang sebagai imbalan kerja.
Lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek
pensiun dll. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi asalkan
dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas
lain.
Enam faktor khusus
Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski supaya gaji / upah itu adil / fair :
Peraturan hukum
Di sini yang paling penting adalah ketentuan hukum tentang
upah minimum sebagai salah satu perjuangan sosialisme dalam usahanya
memperbaiki nasib kaum buruh. Adanya upah minimum berarti bahwa
kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah.
Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu
Dalam semua sektor industri, gaji / upah tidaklah sama. Karena itu
rupanya suatu kriteria yang baik adalah : gaji / upah bisa dinilai adil,
jika rata-rata diberika dalam sektor industri bersangkutan asalkan
keadaan di sektor itu cukup mantap. Namun gaji yang sama belum tentu
menjamin daya beli yang sama. Karena perbedaaan daya beli itu di
Indonesia upah minimum ditetapkan sebagau upah minimum regional (UMR).
Kemampuan perusahaan
Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi
gaji yang lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin
laba yang kecil saja. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak
karyawan mengambil bagian dalam laba. Harus dinilai tidak etis, bila
perusahaan mendapat untung besar dengan menekan gaji karyawan.
Sifat khusus pekerjaan tertentu
Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalani oleh orang
yang mendapat pendidikan / pelatihan khusus, kadang-kadang malah
pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga mereka boleh
diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.
Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan
Kalau pekerjaan tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut
pengalaman lebih ama / mengandung resiko tertentu, maka gaji / upah
harus sama. Sehingga berlaku prinsip equal pay for equal work.
Perundingan upah / gaji yang fair
Perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara
yang ampuh untuk mencapai gaji dan upah yang fair. Tentu saja,
perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak
perusahaan. Lebih bagus bila perundingan gaji itu dilakukan untuk suatu
sektor industri sehingga dihasilkan kesepakatan kerja bersama.
Senioritas dan imbalan rahasia
Senioritas
sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari
pengalamannya bekerja dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya
pada perusahaan, zaman sekarang sudah tidak diperhitungkan lagi. Zaman
modern sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran sama
untuk pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan
karenanya dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan
berkurang.
Pembayaran khusus / kenaikan gaji yang
dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja pun tidak etis karena tidak
mengadakan kontrol sosial dan akan merusak suasana kerja. Jelas, disini
berlaku prosedur yang terbuka dan demokratis untuk menjamin mutu etis
sebuah sistem.
Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena
1) Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
2) Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya.
3) Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan samapai seminimal mungkin.
ς 3. Beberapa Kasus
Berikut adalah beberapa kasus yang terkait dengan Kewajiban Karyawan dan Perusahaan :
Bank Daiwa di Amerika Serikat
Nick Leeson dan Barings Bank
Membantu istri
Perintah atasan
Daftar pelanggan
Donald Wohlgemuth dan Goodrich
Teknisi komputer
Membeli gorden dan karpet
Pertamina vs Ny. Kartika Thahir c.s
Golden Key Group dan Bapindo
Laporan akuntan dipermainkan
Hadiah mobil
Pelumas palsu
Lulusan dalam dan luar negeri
Dilarang merokok
Diskriminasi terhadap Yahudi
Keponakan manajer personalia
Perusahaan asbes Johns-Manville
Tidak ada komentar:
Posting Komentar