Jumat, 01 Mei 2015

Apa itu etika bisnis ?



Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Untuk menganalisisnya  arti-arti etika dengan  membedakan antara “etika sebagai praksis” dan “etika sebagai refleksi”. Etika sebagai praksis berati : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekan atau justru tidak dipraktekan, walaupun seharusnya dipraktekan. Dapat pula diartikan apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma  moral. Maka Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan dan sebagaiya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika ini kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika ini juga berbicara tentang etika sebagai praksis mengambil praksis etis sebagai obyeknya serta menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada pada taraf populer yang bisa dilihat dari orang-orang yang berkomentar ataupun membicarakan tentang peristiwa-peristiwa  yang berkonotasi etis di berbagai media. Mereka semua melibatkan diri dalam etika sebagai refleksi pada taraf populer. Sedangkan pada tarif ilimiah, pemikiran ilmiah selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji dan yang tidak tahan uji, antara yang mempunyai dasar kukuh dan yang mempunyai dasar lemah. Pemikiran ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semrawut tetapi berjalan secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan sebelumnya. Akhirnya, pemikiran ilmiah bersifat sistematis, artinya tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja tetapi menyoroti suatu bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama yang sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai limu sering disebut juga filsafat moral, atau tika filosofis. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani kuno etika filosofis sudah mencapai mutu yang mengagumkan pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles dan berlangsung terus selama 25 abad lebih, hingga hari ini.
Hanya dalam etika filosofis, topik-topik moral dibahas secara tuntas dengan metode dan sistematika khusus yang sesuai dengan bidang moral itu. Sebagai contoh dapat disebut topik keadilan. Dalam filsafat moral membahas tentang arti keadilan dan dasar rasional terdalam untuk keadilan. Pada Plato dan Aristoteles sudah terdapat teori yang bermutu tentang keadilan kemudian dilanjutkan hingga saat ini oleh filsuf besar yang menciptakan teori keadilan yang berbobot dalam abad ke 20. Mereka adalah John Rawls, Robert Nozick, dan Michael Walzer.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia sehingga disebit “filsafat praksis”. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri bagi topik-topik konkret dan aktual sebagai obyek penyelidikannya. Perkembangan baru ini sering disebut “etika terapan” (applied ethics). Etika bisnis juga sebaiknya kita lihat sebagai suatu bidang perminatan dari etika terapan.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, di sini masalah-masalah etika disoroti pada skala besar.
Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi. Organisasi disini terutama berarti perusahaan, bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain.
Pada traf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Akhirnya boleh ditambahkan catatan tentang nama “etika bisnis”. Di Indonesia studi tentang masalah etis alam bidang ekonomi dan bisnis sudah biasa ditinjukan dengan nama itu, sejalan dengan kebiasaan umum dalam kawasan berbahasa Inggris (business ethics). Tetapi dalam bahasa lain terdapat banyak variasi. Namun pada dasarnya semua nama yang bervariasi  menunjuk kepada studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis.

ς 3. Perkembangan etika bisnis

Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sekarang ini etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri. Richard De George mengusukan untuk membedakan antara ethics in business dan business ethics, antara etika dalam bisinis dan etika bisnis. Etika dalam bisnis atau etika berhubungan dengan bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik disamping sekian banyak topik lainnya. Sedangkan etika bisnis umurnya masih muda. Etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang (field) tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual an akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi. Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De george ini kita dapt membedakan lima periode dan perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis.

Situasi Dulu

Dalam filsafat dan teologi Abad pertengahan pembahasan bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur dilanjutkan dalam kalangan Kristen maupun Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat dan teologi di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi Amerika Serikat selama paro pertama abad ke 20, De george melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah topik moral sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi. Dalam kalangan Katolik, pada umumnya mata kuliah itu mendalami “Ajaran Sosial Gereja”, yaitu uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik sosial, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Hingga saat ini para paus mengelurkan ensiklik-ensiklik sosial baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagusnya adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan para uskup Amerika Serikat dengan judul Economic Justice for All. Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (1986). Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio-ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi mereka.

Masa peralihan : tahun 1960-an

Dasawarsa 1960-an di Amerika Seikat dan dunia Barat pada umumnya ditandai oleh pemberontaan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan trhdap establishment (kemapanan). Suasana tidak senang khususnya kaum muda itu diperkuat dengan keterlibatan Amerika Serikat dalm perang Vietnam. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka terjadi antara militer dan industri. Industri dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri diannggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap anti-konsumeristis. Semua faktor itu mengakibatkan suatu sikap anti-bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.
Dunia pendidikan menanggapi situasi tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada sosial issues dalam kuliah tentang manajemen, yang dalam kurikulumnya diberi nama Business dan Society. Salah satu topik yang menjadi populer adalah Corporate social responsibility (tanggung jawab soaial perusahaan). Pendekatan itu diadakan dari segi manajemen, dengan sebagian melibatkan hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis belum dimanfaatkan.

Etika bisnis lahir di Amerika Serikat : tahun 1970-an

Ada dua faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat dengan dibantu oleh ahli ekonomi dan manajemen. Dengan itu mereka meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi multidisipliner. Norman E. Bownie menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis di Universitas Kansas oleh Philosophy Departement (Richard De George) bersama College of Business (Joseph Pichler) bulan November 1974. Makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku : Ethics, Free Enterprise, and Public Policy : Essays on Moral Issues in Business (1978).
Faktor kedua yang memicu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral. Pada awal 1970-an terjadi skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha menyuap politisi kepada kampanye politik. Lockheed Affair, kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang Amerika yang terkemuka. Krisis menjadi lebih besar dengan menguaknya “Watergate Affair” yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Etika bisnis meluas ke Eropa : tahun 1980-an

Di Eropa etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian, mula-mula di Inggris kemudian ke negara Eropa Barat lainnya. Semakin banyaknya fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di eropa mencantumkan mata kuliah etika bisnis, pada tahun 1983 diangkat profesor etika bisnis pertama di suatu universitas di Eropa yaitu Universitas Nijenrode, Belanda. Perkembangan pesatpun terjadi di saat anggaran belanja universitas di mana-mana diperketat akibat kesulitan finansial. Maka di tempat chair dalam etika bisnis disponsori oleh dunia bisnis, seperti di Inggris pada sekolah bisnis Leeds, Manchester dan London. Pada Tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional maupun internasional seperti misalnya serikat buruh. Sebagian bahan konferensi telah diterbitkan dalam bentuk buku.
          
Etika bisnis menjadi fenomena global : tahun 1990-an

Kini etika bisnis dipelajari, diajarkan dan dikembangkan diseluruh dunia. Sejak dimulainya liberalisasi ekonomi di Eropa Timur, apalagi sejak runtuhnya komunisme akhir tahun 1980-an, dirasakan kebutuhan besar akan pegangan etis karena disadari peralihan ke ekonomi pasar bebas tidak bisa berhasil jika tidak disertai etika bisnis. Di Institusi Jepang yaitu Institute of Moralogy yang bermukim di Universitas Reitaku di Kashiwa-Shi yang disponsori pemerintah Jepang berusaha mendekatkan etika dengan praktek bisnis. Pada tahun 1989 dan 1991 mereka menyelenggarakan konfrensi tentang etika dalam ekonomi global, yang dihadiri oleh akademisi dari seluruh Asia. Di India, etika bisnis dipraktekan oleh Management Center of Human Values yang didirikan oleh dewan direksi dari Indian Institute for Management di Kalkuta tahun 1992. Pusat yang dipimpin Prof. S.K Chakraborty ini sejak 1995 mengeluarkan majalah yang berjudul Journal of Human Values. Juga di Hongkong tahun 1997, pengalaman dengan beberapa kasus korupsi mendirikan Independent Comission Against Corruption tahun 1974. Universitas Hongkong memiliki Center of Business Values (1994). Sedikit sebelumnya Hongkong Baptist College mendirikan Center for Applied Ethics.
Tanda bukti terakhir bagi sifat global etika bisnis adalah didirikannya International Society  for Business, Economics, and Ethics (ISBEE). ISBEE mengadakan pertemuan perdananya dengan The First World Congress of Business, Economics and Ethics di Tokyo pada 25-28 Juli 1996 dengan membawakan 12 lapaoran situasi etika bisnis di kawasan dunia. Kongres kedua berlangsung di Sao Paolo, Brasil, tahun 2000.
    
ς 4. Profil etika bisnis dewasa ini

Setelah etika bisnis memiliki status ilmiah yang serius dan semakin diterima, etika bisnis harus terus bergumul untuk membuktikan diri sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Namun sudah mencapai status sebagai suatu bidang intelektual dan akademis yang pantas diperhitungkan. Gambaran profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana tampak sekarang.
Praktis di segala kawasan dunia etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinngi. Kedudukannya yang begitu kuat tersebut merupakan ciri pertama yang menunjukan status ilmiahnya.
Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis.
Sekurang-kurangnya sudah ada 3 seri buku :
–          The Ruffin Series in Business Ethics, New York, Oxford University Press, sejak 1989, editor: R. Edward Freeman;
–          Issues in Business Ethics, Dordrecht (Belanda), Kluwer Academic Publishers, sejak 1990, editors: Brian Harvey, Manchester Business School, U.K., Patricia Werhane, University of Virginia, USA;
–          Sage Series in Business Ethics, Thousand Oaks, California, Sage Publication, sejak 1995, editor: Robert A. Giacalone, University of Richmond.
Banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis. Munculnya jurnal berspesialisasi merupakan suatu gejala penting yang menunjukan tercapainya kematangan ilmiah bagi bidang bersangkutan.
Dalam bahasa Jerman sudah tersedia sebuah kamus tentang etika bisnis: Lexicon der Wirtschaftsethik (kamus etika ekonomi), diredaksi oleh G. Enderle, K. Homann, M. Honecker, W. Kerber, H. Steinmann dan diterbitkan oleh Herder, Freiburg/Basel, 1993. Kemudian menyusul kamus etika bisnis dalam bahasa inggris: Blackwell’s Encylopedic Dictionary of Business Ethics, editor: Patricia Wehane dan Edward Freeman, diterbitkan oleh Blackwell Publishing, Oxford (1997).
Banyak ditemukan Institut penelitian yang secara khusus mendalami masalah etika bisnis.
Sudah didirikan asosiasi atau himpunan dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis, terutama dengan mengumpulkan dosen-dosen etika bisnis dan peminat lain dalam pertemuan berkala.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S-2 dan S-3, khusus di bidang etika bisnis.

ς 5. Faktor sejarah dan budaya dalam etika bisnis

Sikap positif tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, sikap negatifnya berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu indusrialisasi. Berikut pandangan etis tentang perdagangan dan bisnis berkaitan erat dengan faktor sejarah dan budaya.

Kebudayaan Yunani Kuno

Masyarakat Yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatan dagang dan kekayaan. Warga negara yang bebas seharusnya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), di samping tentu memberi sumbangsih kepada pengurusan negara dan kalu mendesak turut membela negara. Pandangan negatif itu ditemukan juga dalam filsafat Yunani kuno. Pada filsuf Plato (427-347 SM) hal itu tampak jelas dalam karya terakhirnya berjudul Undang-Undang. Menurut Plato negara ideal adalah negara agraris  yang sedapat mungkin berdikari, sehingga hampir perdagangan hampir tidak perlu. Perdagangan mempertebal keserakahan manusia. Yang paling berharga bagi manusia adalah keutamaan dan bukan kekayaan duniawi.
Penolakan itu diberi dasar lebih teoritis oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam karyanya Politica ia menilai sebagai tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan. Ia membedakan antara oikonomike tekhne dan khrematistike tekhne. Yang satu diniali etis, sedangkan yang lain ditolak karena menyalahi batas etika.
Ekonomi (oikonomia = pengaturan rumah tangga ; oikos= rumah, rumah tangga ; nomos = pengaturan, aturan, hukum) adalah tukar menukar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pertukarannya bisa barter ataupun memakai uang. Karena itu, uang dipakai menurut kodratnya (nature), sebagai alat tukar sehingga wajar. Ia mengatakan bahwa ekonomi itu “dalam batas”.
Krematistik (khremata = harta benda, kekayaan) adalah menukar barang dengan uang hanya untuk menambah kekayaan. Dengan demikian uang menjadi tujuan sendiri yaitu kekayaan sering dipandang sebagai terdiri atas setumpuk uang, Aristoteles mengatakan bahwa khrematistik itu “tak terbatas”, karena selalu terarah kepada uang lebih banyak lagi. Ia juga memasukan riba atau bunga uang kedalam krematistik karena dinialai sebagai bentuk krematistik yang paling jelek, karena uang dipakai paling bertentangan dengan kodratnya.
Bukti lain adalah kenyataan bahwa dewa Yunani Hermes dihormati sebagai dewa pelindung baik bagi pedagang maupun pencuri. Tetapi rupanya dengan itu tidak dimaksudkan suatu kualifikasi etis. Sedangkan menurut para pakar, kebudayaan  Yunani kuno, Hermes adalah dewa pelindung semua orang yang mempergunakan jalan yaitu pedagang dan pencuri karena termasuk orang yang bepergian dan mempergunakan jalan.

Agama Kristen

Dalam Kitab Suci Kristen terdapt cukup banyak teks yang bernada kritis terhadap kekayaan dan uang, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.Misalnya dalam Mazmur 49:17-18, Lukas 6:20.24, Matius 19:24, Matius 6:24, Lukas 6:9, 1 Timotius 6:10 dan Ibrani 13:15. Meskipun Alkitab tidak menolak perdagangan, tetapi perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaan.
Dalam kalangan Kristiani pada zaman kuno dan abad pertengahan, profesi pedagang dinilai kurang pantas. Maka urusan niaga diserahkan kepada orang Yahudi. Agustinus (354-430) menegaskan bahwa seorang pedagang barangkali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin ia berkenan di hati Tuhan. Seorang teolog dari abad 5 atau 6 bahkan memperluas pendapat Agustinus dengan lebih ekstrim. Ia mengklaim bahwa adegan dalam Injil saat Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari Bait Allah di Yerusalem itu karena mereka tidak pernah berkenan di hadapan Tuhan. Teks dari abad ini kemudian dimuat dalam Decretum Gratiani (akhir abad 21), sebuah dokumen sangat penting di bidang hukum Gereja dalam abad pertengahan. Riwayat itu mendapat kedudukan terpandang selama berabad-abad.
Dalam tahun pertama dari majalah Business Ethics Quarterl berlangsung polemik antara David Vogel dan Thomas McMahon tentang pandangan Kristen zaman kuno dan abad pertengahan. Vogel berpendapat  bahwa dalam periode Kristiani sebelum reformasi bisnis dianggap tidak etis atau sekurang-kurangnya sangat dicurigakan. Namun McMahon menganggap pendapat itu terlalu berat sebelah dan mengemukakan banyak teks dari periode pra-reformasi di mana tampak sikap lebih konstruktif terhadap egiatan bisnis. Kesimpulan dari pendapat mereka bahwa masalah pandangan Kristen pra-reformasi tentang perdagangan perlu didekati dengan nuansa yang seperlunya.
Disamping itu banyak pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara lebih positif. Sebagai contoh, Thomas Aquinas, filsuf dan teolog besar dari abad 13. Ia menolak penipuan dan praktek curang lainnya dalam bisnis tetapi bisnis adalah sah karena memang tujuannya mencari keuntungan sehingga tidak mengandung sesuatu yang berdosa.
Dalam pandangan Protestan, memperoleh untung dengan berdagang dinilai sebagai pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman. Dalam perspektif serupa, kecurigaan terhadap bisnis mulai menghilang. Perubahan padangan itu tentu berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai “tesis Weber”. Dalam sebuah studinya, sosiolog Jerman Max Weber (1864-1920), menjelaskan bahwa timbulnya kapitalisme dipengaruhi dan didorong oleh etos kerja Protestantisme, khususnya Calvinisme. Etika Calvinisme ditandai oleh sifat-sifat yang kondusif untuk kegiatan bisnis. Modal yang dihemat sehingga bisa diinvestasi lagi dalam usaha yang produktif dan sukses dalam usaha dilihat sebagai pahala dari Tuhan.
Agama Islam

Dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhamad sendiri adalah seorang pedagang dan ajaran agama Islam mula-mula disebarkan terutama melalui pedagang Muslim. Al-Quran sendiri terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan  dengan cara halal. Ayat Al-Quran yang terpenting adalah ayat 275 surat al-Baqorah yang menyatakan Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba.
Riba memang dilarang di seluruh dunia, namun yang menarik adalah membedakan riba dan bunga uang. Riba (usury) dimaksudkan bunga uang berlebihan yang dituntut dari orang yang kepepet karena situasi ekonomi yang khusus. Sedangkan bunga uang adalah balas jasa yang diberikan kepada orang yang meminjamkan uang untuk usaha produktif. Orang yang menyetujui pembedaan itu ialah ekonom Indonesia yaitu Muhammad Hattta, dalam tulisan yang berjudul “Islam dan rente”. Riba adalah tambahan tidak wajar atas utang yang dipakai untuk konsumsi. Rente adalah imbalan untuk pinjaman yang digunakan untuk usaha produktif. Riba sama dengan pemerasan, rente bersifat businesslike. Namun kalangan Islam dewasa ini tidak semua orang bisa menerima pembedaan tersebut.

Kebudayaan Jawa

Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidiki struktur sosial dari kota Jawa Timur yang disebutnya Modjokuto (nama samaran untuk Pare), ia menemukan empat golongan : priyai, para pedagang pribumi (wong dagang), orang kecil yang bekerja sebagai buruh tani atau tukang (wong cilik), orang Tionghoa (wong Cina). Yang menjadi penting yaitu perbedaan antara priyayi dan wong dagang. Para priyai bekerja sebagai pegawai di bidang pemerintahan dan sedikit memegang fungsi “kerah putih” dalam pabrik-pabrik kecil. Golongan priyayi membentuk elite politik dan kultural, yang menjauhkan diri dari perdagangan. Golongan para pedagang pribumi (oleh Koentjaraningrat disebut saudagar atau kauman), yang menjadi perputaran roda ekonomi bersama dengan orang Tionghoa.
Dalam karyanya ternama, Religion of Java, Clifford Geertz menjelaskan bagaimana memiliki kekayaan dan terutama menjadi kaya dengan mendadak dalam masyarakat jawa dikaitkan dengan bantuan tuyul. Orang yang memelihara tuyul bukanlah golongan priyayi. Dalam tradisi kebudayaan Jawa kekayaan ternyata dicurigakan. Secara spontan kekayaan tidak dihargai sebagai jerih payah seseorang atau sebagai prestasi dalam berusaha.

Sikap modern dewasa ini

Sekarang kegiatan bisnis dinilai sebagai pekerjaan terhormat dan semakin dibanggakan sejauh membawa sukses karena adanya jalan tengah antaran egoisme dan altruisme. Maka, hakikat bisnis, di antara nilai dan norma adalah jangan merugikan kepentingan orang lain serta jangan menjadikan bisnis itu pekerjaan kotor, bisnis harus tahu diri, dan bisnis membutuhkan etika.
Namun keprihatinan moral dengan bisnis kini tampak, sejalan kita hidup di zaman konglomerat dan korporasi multinasional, zaman kapitalisme, bahkan sejak runtuhnya komunisme, bisnis telah menjadi big business. Dengan akibat bisnis mencapai posisi kekuasaan ekonomi yang besar. Kemudian masalah etika bisnis terbesar dewasa ini adalah masalah kuasa yang tidak bisa dikontrol dan dibatasi. Seperti yang dikatakan Lord Acton (abad 19) tentang kuasa politik, berlaku juga bagi kuasa ekonomis seperti yang terkenal “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Malah dalam era globalisasi sekarang,, jika kuasa ekonomi merajalela dengan leluasa, tidak dipungkiri ekonomi lemah menjadi korban.

ς 6. Kritik atas etika bisnis

Etika bisnis memang harus terbuka bagi kritik yang membangun, tetapi terkadang etika bisnis juga menjadi bulan-bulanan kritik yang tidak tepat. Berikut adalah gambaran tentang corak dan maksud etika bisnis sebagaimana dipahami sekarang ini.

Etika bisnis mendiskriminasi

Kritik ini lebih menarik karena sumbernya daripada isinya. Sumbernya adalah Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Ia mengemukakan kritik yang tajam tentang etika bisnis yang artikelnya diterbitkan dalam majalah The Public Interest, kemudian lebih populer lagi dan diulangi lagi dalam majalah Forbes.Responnya ditanggapi Bowie yang menilai kritik Drucker sebagai intemperate and uninformed juga oleh Hoffman dan Jennifer Moore.
Inti keberatan Drucker adalah bahwa etika bisnis menjalankan diskriminasi yaitu dunia bisnis harus dibebankan secara khusus dengan etika dan diukur dengan standar etis lebih ketat dari bidang-bidang lainnya. Menurutnya hanya ada satu etika yang berlaku bagi semua orang, penguasa atau rakyat jelata, kaya atau miskin, yang kuat dan yang lemah serta etika bisnis itu menunjukan adanya sisa-sisa dari sikap bermusuhan yang lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis.

Etika bisnis itu kontradiktif

Muncul suatu skepsis dari orang-orang yang menilai etika bisnis sebagai suatu usaha naif. Etika bisnis mengandung suatu kontradiksi. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya artinya etika dan bisnis itu bagaikan air dan minyak.

Etika bisnis tidak praktis

Kritik etika bisnis yang menimbulkan banyak reaksi adalah artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review (1993) dengan judul “what’s the matter with business ethics?”. Pengarangnya adalah Andrew Stark yaitu dosen manajemen di Universitas Toronto, Kanada. Menurut Stark, etika bisnis adalah “too general, too theoretical, too impratical”. Ia menilai kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para profesional di bidang manajemen. Ia mendengan pertanyaan sejauh mana kapitalisme bisa dibenarkan atau apakah dari segi etika harus diberi preferensi kepada sosialisme, dan memberi komentar: “apa yang mereka hasilkan itu sering kali lebih mirip filsafat sosial yang muluk-muluk daripada advis etika yang berguna untuk para profesional”. Maka, Stark dinilai menganggap etika bisnis tidak praktis.

Etikawan tidak bisa mengambil alih tanggung jawab

Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri. Setiap manusia merupakan pelaku moral yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kita tidak membutuhkan etika bisnis mereka tegaskan yang datang menjelaskan apa yang harus kita perbuat atau apa yang tidak boleh kita perbuat. Kita sendiri harus mengambil keputusan di bidang moral. Tidak ada jalan lain.
Tetapi sebenarnya bagaimanapun juga etikawan sama sekali tidak berprestasi mengambil alih tanggung jawab moral dari orang lain. Bagi etika bisnis pun berlaku peribaha Inggris. Peribahasa itu ialah “you can lead the horse to the water, but you can not make him drink”.

Pengertian Etika, Etika Bisnis dan contohnya

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yg berarti : kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
*Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) etika adalah “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”
* Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR  "etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. "
*Menurut Magnis Suseno, "Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran.Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas".

contoh-contoh etika dlm kehidupan sehari-hari,yaitu :
1. Jujur tidak berbohong
2. Bersikap Dewasa tidak kekanak-kanakan
3. Lapang dada dalam berkomunikasi
4. Menggunakan panggilan / sebutan orang yang baik
5. Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien
6. Tidak mudah emosi / emosional
7. Berinisiatif sebagai pembuka dialog
8. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan
9. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan
10. Bertingkah laku yang baik
Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.



Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan  bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Contoh kasus etika bisnis:
1. Sebuah perusahaan pengembang di Lampung membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah pabrik. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada pihak perusahaan kontraktor tersebut. Dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor menyesuaikan spesifikasi bangunan pabrik yang telah dijanjikan. Sehingga bangunan pabrik tersebut tahan lama dan tidak mengalami kerusakan. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor telah mematuhi prinsip kejujuran karena telah memenuhi spesifikasi bangunan yang telah mereka musyawarahkan bersama pihak pengembang.
2. Sebuah Yayasan Maju Selalu menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp.500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan sekolah ini diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,sehingga setelah diterima,mereka harus membayarnya. Kemudian pihak sekolah memberikan informasi ini kepada wali murid bahwa pungutan tersebut digunakan untuk biaya pembuatan seragam sekolah yang akan dipakai oleh semua murid pada setiap hari rabu-kamis. Dalam kasus ini Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan mengikuti transparasi.
3. Pada tahun 1990 an, kasus yang masih mudah diingat yaitu Enron. Bahwa Enron adalah perusahaan yang sangat bagus dan pada saat itu perusahaan dapat menikmati booming industri energi dan saat itulah Enron sukses memasok enegrgi ke pangsa pasar yang bergitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Dan data yang ada dari skilus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring dengan booming indutri energi, akhirnya memosisikan dirinya sebagai energy merchants dan bahkan Enron disebut sebagai ”spark spead” Cerita pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada dipasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya Enron meninggalkan prestasi dan reputasinya baik tersebut, karena melakukan penipuan dan penyesatan.. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian kolaps pada tahun 2001.

Berdasarkan referensi-referensi dan contoh diatas. saya sependapat etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah yang harus dipelajari oleh semua perilaku bisnis. karena menurut saya dalam berbisnis sangat penting untuk beretika dan melakukan persaingan yang sehat antar pelaku bisnis. kita dapat melihat di contoh diatas pelaku bisnis yang menggunakan etika dalam berbisnis akan mengikuti transparansi, kejujuran, dan nilai-nilai moral yang baik. sedangkan pada contoh ketiga ialah contoh kasus yang melakukan penipuan dan penyesatan. sangat tidak bagus dan merusak nama dan citra perusahaan.

oleh karena itu, sekali lagi menurut saya Etika Bisnis sangat diperlukan bagi semua pelaku bisnis.
Dan pendapat saya tentan etika adalah : sikap seseorang dan kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas dalam kehidupan sehari-hari menurut ukuran dan berperilaku yang baik.

LIBERALISME

Liberalisme menekankan milik pribadi sebagai salah satu hak manusia yang terpenting.

Sosialisme berpendapat bahwa milik tidak boleh dibatasi pada kepentingan individu saja,

melainkan mempunyai fungsi sosial. Di sini kita akan mempelajari secara singkat pandangan dari

orang – orang yang meletakkan dasar untuk teori liberalistis dan sosialistis tentang milik.

1. Tinjauan Historis

∙ John Locke dan milik pribadi

John Locke (1632 – 1740), seorang filsuf Inggris yang banyak mendalami masalah

– masalah sosial politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama kali

mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke manusia mempunyai

tiga “hak kodrat” (natural rights) : “life, freedom, and property”. Yang penting

adalah hak atas milik karena kehidupan dan kebebasan kita miliki juga. Jadi, hak

atas milik menyediakan pola untuk memahami kedua hak lain juga. Secara

mendalam dapat mempengaruhi pemikiran tentang milik. Pemikiran ini di uraikan

dalam buku Two Treatises of Government (1690). Bila sesuatu yang tidak bertuan

diolah oleh pekerjaan manusia, maka dengan itu ia menjadi pemiliknya. Tetapi, ada

pembatasan bagi cara menjadi pemilik itu. Dari bahan tidak bertuan orang hanya

boleh mengambil sebanyak dapat dikonsumsi oleh orang itu sendiri (bersama

keluarga dan kenalan) sehingga masih tertinggal cukup banyak dan sama baik

mutunya untuk orang lain. Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa ciri

kaptalisme liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx.

∙ Adam Smith dan pasar bebas

Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalisme adalah orang Skotlandia,

Adam Smith (1723 – 1790). Karena buku yang berjudul “An Inquiry into the Nature

and Causes of the Wealth of Nations” Adam Smith dianggap sebagi perintis ilmu

ekonomi. Adam Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar bebas

di bidang ekonomi. Seperti Locke, Smith pun memandang pekerjaan sebagai

sumber hak milik. Karena itu, ia melihat tenaga kerja sebagai “milik yang paling

suci dan tidak boleh diganggu gugat”. Smith merinci lagi bahwa manusia secara

khusus memiliki produktivitas dari pekerjaannya, dan terutama produktivitas kerja

itulah yang menghasilkan kemakmuran. Karena produktivitas kerja, suatu ekonomi

dapat tumbuh. Dalam konteks ini, Smith menggaris bawahi pentingnya pembagian

kerja yang sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas kerja.

∙ Marxisme dan Kritiknya atas milik pribadi

Marxisme merupakan ajaran sosial – ekonomis – politik yang sangat kompleks dan

tidak mudah untuk disingkatkan tanpa mengorbankan cukup banyak unsur yang

sebenarnya hakiki juga. Kita ingin memandang marxisme sebagai kritik atas teori

liberalistis tentang milik yang serentak juga merupakan usaha untuk menyajikan

suatu alternatif. Usaha itu meliputi dua aspek : aspek ilmiah dan aspek etis.

2. Pertentangan dan Perdamaian antara Liberalisme dan Sosialisme

Liberalisme hak untuk mempunyai milik pribadi sebagai suatu kebebasan dasar bagi setiap

manusia, sedangkan sosialisme menilai masyarakat diatur tidak adil, terutama karena lembaga

milik pribadi. Pada kenyataannya berbagai negara, liberalisme dan sosialisme mempunyai

sejarahnya sendiri yang tidak selalu melintasi pola – pola yang sama.

∙ Liberalisme

Inti pemikiran liberalisme adalah tekanannya pada kebebasan individual. Tugas

pokok negara menurut pandangan liberalisme secara klasik dilukiskan sebagai

“negara jaga malam”, karena negara harus membatasi diri pada perlindungan dan

pengamanan para warga negara.

Pokok­pokok Liberalisme Ada tiga hal yang mendasar dari Ideolog Liberalisme

yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah

ini, adalah nilai­nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:

­ Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa

manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik

politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang

berbeda­beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan

berlainan tergantung kepada kemampuannya masing­masing. Terlepas dari itu

semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari

demokrasi.

­ Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang

mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap

penyelesaian masalah­masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial,

ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan

dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme

individu.( Treat the Others Reason Equally.)

­ Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak

boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut

kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)

­ Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela

dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum

abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk

melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus

ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang­undang), persamaan dimuka umum,

dan persamaan sosial.

­ Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of

Individual)

­ Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu

mekanisme yang digunakan untuk tujuan­tujuan yang lebih besar dibandingkan

negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat

pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah

merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah

mengalami kegagalan.

­ Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse

Dogatism).Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 –

1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada

pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.

Dua Masa Liberalisme

Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada

dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern.

Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern

mulai muncul sejak abad ke­20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme

Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh

Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai­nilai dari Liberalisme Klasik itu

masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal­hal yang mendasar ; hanya

mengubah hal­hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak

berubah hanya ada tambahan­tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi

sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.

diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing­masing – yang

akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan

kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki

individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan

yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi

ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas­bebasnya.

∙ Sosialisme

Sosialisme adalah paham yang bertujuan membentuk negara kemakmuran dengan

usaha kolektif yang produktif dan membatasi milik perseorangan.Titik berat paham

ini pada masyarakat bukan pada individu sebagai suatu aliran pemikiran / paham

tidak dapat dilepaskan dari pengaruh “liberalisme”.Inti dari paham sosialisme

adalah suatu usaha untuk mengatur masyarakat secara kolektif. Artinya semua

individu harus berusaha memperoleh layanan yang layak demi terciptanya suatu

kebahagiaan bersama. Hal ini berkaitan dengan hakikat manusia yang bukan

sekedar untuk memperoleh kebebasan, tetapi manusia juga harus saling tolong-
menolong. Ciri utama sosialisme adalah pemerataan sosial dan penghapusan

kemiskinan. Ciri ini merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya

sosialisme. Hal ini ditandai dengan penentangan terhadap ketimpangan kelas­kelas

sosial yang terjadi pada negara feodal.

Sosialisme yang kita kenal sekarang ini timbul sebagian besar sebagai reaksi

terhadap liberalisme abad ke 19. Pendukung liberalisme abad ke 19 adalah kelas

menengah yang memiliki industri, perdagangan dan pengaruh mereka di

pemerintahan besar akibatnya kaum buruh terlantar.

Sosialime adalah suatu reaksi atas ketidak beresan dalam masyarakat dalam yg

disebabkan oleh liberalism . sosialisme berasal dari kata latin socius yg berate

teman atau kawan sosialisme memandang manusia sebagai mahluk social atau

seebagai sesame yang hidup dengan sesame lainya .masyarakat yg diatur oleh

sosialisme mempunyai rasa soliditas yg tinggi . sosialisme terbagi menjadi dua

yaitu :

1) Sosialisme komunistis

Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah

Sosialime komunistis atau komunime menolak milik pribadi menurut mereka milik

harus menjadi milik bersama atau milik kolektif tetapi sebagaimana telah diketahui

karl marx menolak segala bentuk milik pribadi marx beserta pengikutnya

membedakan antara pemilikan barang konsumsi dan pemilikan barang sarana

produksi , komunisme tidak berkeberatan dalam pemilikan secara pribadi barang

barang konsumsi .

2) Sosialisme demokratis

Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat diatas individu tetapi berbeda

dengan komunisme mereka tidak bersedia mengorbankan sistem pemerintahan yg

demokratis yg merka anggap sebagai sebuah perolehan modern yg sangat berharga

oleh krena itu mereka ingin mewujudkan cita cita sosialistis melaluijalan

demokratis , marx dan engels pernah menyerukankaum buruh sedunia bersatulah

maka denga itu mereka terjun ke dunia politik dengan mendirikan partai sosialis

yang tulang punggungnya serikat buruh

∙ Kekuatan dan kelemahan

 Liberalisme

kekuatan liberalism adalah milik pribadi diakui sebagai cara penting untuk

mewujudkan kebebasan pribadi .

tetapi kelemahanya yg utama adalah mereka kurang memperhatikan kaum miskin dan

orangyg kurang beruntung didalam masyarakat berindustri kalau bisa dikatakan

secara ekstrem yaitu miskin sama dengan mlas dengan anggapan apabila bekerja

keras maka akan maju

 sosialisme

Kekuatan sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividualisme dari

milik .milik selalu mempunyai suatu fungsi social dan tidak boleh dibatasi pada

kepentingan pribadi aja .

Kelemahan nya adalah ekonomi yang direncanakan dengan ketat dari atas ternyata

tidak berhasil .perusahaan perusahaan yg dikelola oleh Negara ditandai dengan

inefisiensi

menuju perdamaian

liberalism dan sosialisme dapat dilihat sebagai dua ideology antagonis yg berjuang

merebut hegemoni dipanggung politik ekonomi selama kurang lebih setengah abad

pada saat sekarang tampaknya dua ideology ini tampaknya mencapai titik perdamaian

walaupun belum terlihat suatu sintetis yg jelas , keseimbangan dua ideology ini

rupanya sudah tercipta dengan memanfaatkan kelebihan kelebihan masing masing

dan mengesampingkan kelemahanya ,pada saat ini kita menyaksikan suatu situasi

paradoksal dimana dua ideology ini secara bersamaan berhasil dan serentak pula

berhasil

3. Kapitalisme dan demokratisasi

Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa

melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar­besarnya. Demi prinsip tersebut,

maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi

intervensi pemerintah dilakukan secara besar­besaran untung kepentingan­kepentingan

pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang

bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem

yang mulai berlaku di Eropapada abad ke­16 hingga abad ke­19, yaitu pada masa

perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun

kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun

melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal,

seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk

mendapatkan modal­modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan

mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih

dari bahan baku tersebut.

Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya

sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan

sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang

sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan

kapitalisme dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih

lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.

Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi.

Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan. Keputusan deomkratis

adalah keputusan rata – rata semua warga negara.

4. Etika pasar bebas

david Gauthier mengungkapkan pasar sempurna tidak membutuhkna moralitas dmana pasar

sempurna yg dimaksudkan adalah pasar dimana kompetisi berjalan sempurna dalam situasi itu

tidak dibutuhkna ditegakanya rambu rambu moral karena kepentinga kepentinga pribadi secara

sempurna sesuai dengan kepentingan social masyarakat . yang pada kenyataanya situasi diatas

tidak mungkin terjadi

pentingnya etika dalam semua ini terutama tampak dari dua segi . pertama dari segi keadilan social

supaya semua peserta di pasar diberikan kesempatan yang sama

ke dua yaitu sebagai jaminan bahwa kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral

keuntungan sebagai tujuan perusahaan

keuntungan termasuk definisi bisnis , bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide product or

service for a profit” menyediakan suatu barang atau jasa secara percuma bukanlah bisnis itu

sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal menawarkan sesuatu secara percuma masih bisa

dikatakan bisnis apabila dalam masa promosi .tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan

ekonomis menghasilkan keuntungan . keuntungan baru muncul dalam kegiatan ekonomi yg

memakai sistem keuangan .

maksimalisasi keuntungan sebagai cita cita liberalisme

profit maximization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu

manajemen ekonomi .metode kuantitatif yang dipakai manajemen ekonomi mengandaikan

keuntungan sebagai tujuan perusahaan .

kalau maksimalisasi keuntungan merupakan satu satunya tujuan perusahaan dengan sendirinya

akan muncul keadaan tidak etis . sekurang kurangya karena alas an itu karyawan diperalat begitu

saja ,

tentu saja para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan

perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan juga tidak ditafsirkan sebagai pernyataan

moral .maksimalisasi keuntungan hanya sebagai sekedar model ekonomis yang bisa berhasil .

salah besar apabila orang mengukurnya secara etika .penjelasan protes ini bisa dimaklumi.

5. david Gauthier mengungkapkan pasar sempurna tidak membutuhkna moralitas dmana pasar

sempurna yg dimaksudkan adalah pasar dimana kompetisi berjalan sempurna dalam situasi itu

tidak dibutuhkna ditegakanya rambu rambu moral karena kepentinga kepentinga pribadi secara

sempurna sesuai dengan kepentingan social masyarakat . yang pada kenyataanya situasi diatas

tidak mungkin terjadi

pentingnya etika dalam semua ini terutama tampak dari dua segi . pertama dari segi keadilan social

supaya semua peserta di pasar diberikan kesempatan yang sama

ke dua yaitu sebagai jaminan bahwa kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral

6. keuntungan sebagai tujuan perusahaan

keuntungan termasuk definisi bisnis , bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide product or

service for a profit” menyediakan suatu barang atau jasa secara percuma bukanlah bisnis itu

sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal menawarkan sesuatu secara percuma masih bisa

dikatakan bisnis apabila dalam masa promosi .tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan

ekonomis menghasilkan keuntungan . keuntungan baru muncul dalam kegiatan ekonomi yg

memakai sistem keuangan .

• maksimalisasi keuntungan sebagai cita cita liberalisme

profit maximization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu

manajemen ekonomi .metode kuantitatif yang dipakai manajemen ekonomi mengandaikan

keuntungan sebagai tujuan perusahaan .

kalau maksimalisasi keuntungan merupakan satu satunya tujuan perusahaan dengan sendirinya

akan muncul keadaan tidak etis . sekurang kurangya karena alas an itu karyawan diperalat begitu

saja ,

tentu saja para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan

perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan juga tidak ditafsirkan sebagai pernyataan

moral .maksimalisasi keuntungan hanya sebagainomis yang bisa berhasil . salah besar apabila

orang mengukurnya secara etika .penjelasan protes ini bisa dimaklumi

7. david Gauthier mengungkapkan pasar sempurna tidak membutuhkna moralitas dmana pasar

sempurna yg dimaksudkan adalah pasar dimana kompetisi berjalan sempurna dalam situasi itu

tidak dibutuhkna ditegakanya rambu rambu moral karena kepentinga kepentinga pribadi secara

sempurna sesuai dengan kepentingan social masyarakat . yang pada kenyataanya situasi diatas

tidak mungkin terjadi

pentingnya etika dalam semua ini terutama tampak dari dua segi . pertama dari segi keadilan social

supaya semua peserta di pasar diberikan kesempatan yang sama

ke dua yaitu sebagai jaminan bahwa kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral

8. keuntungan sebagai tujuan perusahaan

keuntungan termasuk definisi bisnis , bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide product or

service for a profit” menyediakan suatu barang atau jasa secara percuma bukanlah bisnis itu

sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal menawarkan sesuatu secara percuma masih bisa

dikatakan bisnis apabila dalam masa promosi .tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan

ekonomis menghasilkan keuntungan . keuntungan baru muncul dalam kegiatan ekonomi yg

memakai sistem keuangan .

• maksimalisasi keuntungan sebagai cita cita liberalisme

profit maximization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu

manajemen ekonomi .metode kuantitatif yang dipakai manajemen ekonomi mengandaikan

keuntungan sebagai tujuan perusahaan .

kalau maksimalisasi keuntungan merupakan satu satunya tujuan perusahaan dengan sendirinya

akan muncul keadaan tidak etis . sekurang kurangya karena alas an itu karyawan diperalat begitu

saja ,

tentu saja para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan

perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan juga tidak ditafsirkan sebagai pernyataan

moral .maksimalisasi keuntungan hanya sebagai sekedar model ekonomis yang bisa berhasil .

salah besar apabila orang mengukurnya secara etika .penjelasan protes ini bisa dimaklumi

Ekonomi dan Keadilan

Keadilan merupakan suatu topik penting dalam etika telebih dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja tetapi menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh pelbagai pihak. Antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan erat, karena dua-duanya bersasal dari sumber daya yang sama yaitu masalah kelangkaan. Kelangkaan adalah asal-usul dari ekonomi dalam dua arti. Tentang barang yang melimpah ruah dan tidak menimbulkan masalah ekonomi dan tentang barang yang tidak melimpah ruah namun menimbulkan masalah ekonomi.
Ekonomi sebagai ilmu didefinisikan sebagai studi tentang cara bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksikan komoditas-komoditas yang berharga dan mendistribusikannya diantara orang-orang yang berbeda. Masalah keadilan atau ketidakadilan baru muncul, jika tidak tersedia barang cukup bagi semua orang yang menginginkannya. Adil tidaknya suatu keadaan selalu terkait juga dengan kelangkaan.
Ekonomi dan keadilan selalu terkait atau sekurang-kurangnya seharusnya terkait. Keadilan menjadi kata hampa belaka, bila tidak tersedia barang yang cukup (kemakmuran) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tetapi kemakmuran saja tidak menjamin adanya keadilan, bila kekayaan tidak terbagi dengan seimbang.

ς 1. Hakikat keadilan

Orang-orang Roma kuno terkenal karena menciptakan suatu sistem hukum yang bagus (Ius Romanum), yang masih dikagumi dan dipelajari sekarang ini juga, bukan saja oleh para sejarawan tetapi juga oleh para ahli hukum. Pengarang Roma, Ulpianus, yang dalam hal ini mengutip orang bernama Celcus, menggambarkan keadilan dengan “tribuere cuique suum”. Dalam bahasa Inggris berbunyi “to give everybody his own” atau dalam bahasa Indonesia “memberikan kepada setiap orang yang dia empunya”. Bagi kita titik tolak untuk refleksi tentang keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Tiga ciri khas penanda keadilan : keadilan tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakan, dan keadilan menuntut persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan itu perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pertama, keadilan tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other directedness (J. Finnis). Masalah keadilan atau ketidakadilan hanya bisa timbul dalam konteks antar-manusia. Untuk itu diperlukan sekurang-kurangnya dua orang manusia.
Kedua, keadilan harus ditegakan atau dilaksanakan. Jadi, keadilan tidak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan mengikat kita, sehingga kita mempunyai kewajiban. Ciri itu disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi.
Oleh karena itu dalam konteks keadilan bias dipakai “bahasa hak” atau “bahasa kewajiban”, tanpa mengubah artinya. Dalam mitologi Romawi dewi Iustitia (keadilan) digambarkan dengan memegang timbangan dalam tangan. Timbangan menunjuk kepada cirri kedua: keadilan harus dilaksanakan persis sesuai dengan bobobt hak seseorang.
Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality). Atas dasar keadilan, kita harus memebrikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa kecuali. Dewi Iustita yang memegang timbanga dalam tangannya, digambarkan juga dengan matanya tertutup dengan kain. Sifat terakhir ini menunjuk kepada cirri ketiga. Keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang, tanpa melihat orangnya siapa.

ς 2. Pembagian Keadilan

Jenis-Jenis keadilan :

Pembagian Klasik

Cara membagi keadilan ini terutama ditemukan dalam kalangan thomisme, aliran filsafat yang mengikuti jejak filsuf dan teolog besar, Thomas Aquinas (1225-1274). Dia juga mendasrkan pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles dalam masalah keadilan pun demikian. Keadilan dapat menyangkut kewajiban individu-individu terhadap masyarakat, lalu kewajiban masyarakat terhadap individu-individu dan akhirnya kewajiban antara individu-individu sata sama lain. Tiga macam keadilan itu masing-masing disebut keadilan umum, distributive dan komutatif. Hal itu sekarang perlu dijelaskan lebih rinci.
Keadilan umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk member kepada masyarakat (secara konkret berarti: negara) apa yang menjadi haknya. Keadilan umum ini menyajikan landasan untuk paham common good (kebaikan umum atau kebaikan bersama). Berarti kita harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Keadilan distributive (distributive justice) : berdasarkan keadilan ini negara (secara konkret berarti: pemerintah) harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Dalam bahasa Indonesia bisa dipakai nama “keadilan membagi”.

Keadilan komutatif (commutative justice) : berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal itu berlaku pada taraf individu maupun social. Dalam bahasa Indonesia bisa dipakai nama “keadilan tukar-menukar”. Keadilan komutatif menjadi fundamennya, jika orang mengadakan perjanjian atau kontrak.

Pembagian pengarang Modern

Pembagian keadilan menurut beberapa pengarang modern tentang etika bisnis, khususnya John Boatrigh dan Manuel Velasquez. Mereka pun mendasarkan pemikirannya dari Aristoteles. Maka tidak mengherankan, bila pembagian kedua ini bertupang tindih dengan pembagian pertama.

Keadilan distributive (distributive justice) : dimengerti dengan cara pembagian klasik. Benefits and burdens.

Keadilan retributive (retributive justice) : berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Tiga sayarat yang harus dipenuhi supaya hukuman dapat dinilai adil. Pertama, kesengajaan dan kebebasan.Kedua, asas praduga tak bersalah. Ketiga, Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat konsistensi terpenuhi, jika selalu diambil tindakan terhadap suatu pelanggaran dan jika semua pelanggar dikenakan hukuman yang sama. Syarat prroporsionalitas terpenuhi, jika hukuman atau denda yang ditetapkan tidak melebihi kerugian yang diakibatkan.

Keadilan kompensatoris (compensatory justice) menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain. Berdasarkan keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan. Supaya kewajiban kompensasi ini berlaku, perlu terpenuhi tiga syarat. Pertama, tindakan yan mengakibatkan kerugian harus salah atau disebabkan kelalaian. Kedua, perbuatan seseorang harus sungguh-sungguh menyebabkan kerugian. Ketiga, kerugian harus disebabkan oleh orang yang bebas.

Keadilan Individual dan Keadilan Sosial

Cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan social dan adalah membedakannya dengan keadilan individual. Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa beberapa orang ) saja. Dalam pelaksanaan keadilan social, tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang social-ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
Keadilan social terlaksana jika hak-hak social terpenuhi. Tetapi perlu diakui bahwa keadilan individual sering kali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Namun keadilan social tidak pernah terlaksana dengan sempurna karena kompleksitas masyarakat modern.

ς 3. Keadilan distributif pada khususnya

Dalam etika modern ada 2 macam prinsip untuk keadilan distributif :

Prinsip formal

Menyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara yang tidak sama.

Prinsip material

Beauchamp dan Bowie menyebut 6 prinsip mengenai prinsip material yang melengkapi prinsip moral. Keadilan distributif terwujud, kalau diberikan :

Kepada setiap orang bagian yang sama ;
Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;
Kepada setiap orang sesuai dengan haknya;
Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;
Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat;
Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya.
      Berdasarkan prinsip-prinsip material terbentuklah beberapa teori keadilan distributif.

Teori Egalitarianisme

Teori ini didsarkan pada prinsip pertama yaitu bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). Pemikiran ini merupakan keyakinan umum sejak Revolusi Prancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertamanya yaitu Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara (1789). Beberapa tahun sebelumnya di Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence (1776) sudah ditegaskan “All men are created equal”.



Teori Sosialistis

Teori ini memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan pokok/primer. Dalam teori sosialis terkenal prinsip oleh Karl Marx (1818-1883) diambil oleh dari sosialis Prancis, Louis Blanc (1811-1882): “From each according to his ability, to each according to his needs”.

Teori Liberalistis

Menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil karena manusia adalah makhluk bebas. Berarti kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Menolak pula sebagai sangat tidak etis sikap free rider: benalu menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. Teori ini digarisbawahi pentingnya dari prinsip hak, usaha tetapi secara khusus prinsip jasa. Terutama prestasi dilihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang.

ς 4. John Rawls tentang keadilan distributif

John Rawls dilahirkan di Baltimore, Mayland , Amerika Serikat, tahun 1921. Pendidikannya di bidang ekonomi dan filsafat. Bukunya yang termasyur berjudul A Theory of Justice (1971), salah satu buku filsafat dari abad ke 20 yang paling banyak ditanggapi dan dikomentari. Sebelum dan sesudahnya ia menulis beberapa artikel namun baru tahun 1993 terrbit bukunya yang kedua Political Liberalism, yang untuk merevisi oandangannya dalam buku perama, antara lain dengan mengakui bahwa masyarakat modern sangat heterogen dan karenanya toleransi harus menjadi ciri khas masyarakat yang adil.
Menurutnya keadilan distributif hanya muncul berkaitan dengan apa yang tergantung pada kemauan manusia. Yang harus dibagi dengan adil dalam masyarakat hanyalah the social primary goods yaitu :

Kebebasan-kebebasan dasar : mengemukakan pendapat, kebebasan hati nurani, dasn kebebasan berkumpul, integrasi pribadi dan kebebasan politik;
Kebebasan bergerak dan kebebasan memilih profesi;
Kuasa dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh tanggung jawab;
Pendapatan dan milik;
Dasar-dasar sosial dan harga diri.
Nilai-nilai dasar tersebut dibagi dengan adil jika menurut isinya (just) dan menurut prosedurnya (fair). Metode serupa harus dipakai juga untuk menentukan prinsip keadilan distributif. Perumuskan prinsip-prinsip itu harus dimasuki the original position. Maksudnya, kita seolah-olah keluar dari masyarakat di mana kita hidup, pada awal mula sejarah belum dimulai, dan situasi khayalan dimana masyarakat belum terbentuk. Dengan begitu kita berada dibalik the veil of ignorance/ dibalik selubung ketidaktahuan. Dengan posisi itu kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini.
Prinsip pertama : setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-
    kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokan   
    dengan kebebasan- kebebasan yang sejenis untuk semua
    orang, dan
Prinsip kedua: ketidak samaan sosial dan ekonomis diatur demikian rupa
sehingga :
menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung dan serentak juga
melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.
                              Prinsip 1 dapat disebut “kebebasan yang sedapat mungkin sama”. Dalam hal ini Rawls menganut egalitarianisme. Prinsip 2 bagian a disebut prinsip perbedaan. Dengan itu Rawls menolak egalitarianisme radikal. Denagn prinsip perbedaan itu sebenarnya Rawls meletakan dasar etis untuk Walfare State Modern. Prinsip 2 bagian b disebut prinsip persamaan peluang yang fair.
Menurut Rawls, prinsip pertama harus diberi prioritas mutlak. Prinsip 2b harus ditempatkan di atas prinsip perbedaan (2a). Pada skala nilai dalam masyrakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus ditempatkan hak-hak kebebasan yang klasik, yang pada kenyataannya sama dengan yang kita sebut Hak Asasi Manusia. Lantas harus dijamin peluang yang sama bagi semua warga negara untuk memangku jabatan yang penting. Akhirnya dapat diterima perbedaan sosial-ekonomis tertentu demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-orang yang minimal beruntung.              

ς 5. Robert Nozick tentang keadilan distributif

Nozick menjadi terkenal karena bukunya Anachy, State, and Utopia (1974) yang memuat pemikiran liberalistisnya tentang keadilan. Teorinya tentang keadilan distributif disebutnya “entilement theory”. Menurutnya kita memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikan itu berasal dari keputusan bebas yang mempunyai landasan hak. Ada 3 kemungkinan yang mengeluarkan 3 prinsip. Pertama, prinsip original acquisition: kita memperoleh sesuatu untuk pertama kali. Kedua, prinsip transfer: kita memiliki sesuatu karena diberikan oleh orang lain. Ketiga, prinsip rectification of injustice: kita mendapat sesuatu kembali yang sebelumnya dicuri dari kita.
Nozick mempunyai 2 keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip material keadilan distributif yang tradisional. Prinsip-prinsip itu bersifat ahistoris dan mempunyaai pola yang ditentukan sebelumnya. Ketiga prinsip Nozick merupakan prinsip-prinsip historis, artinya mereka tidak saja melihat hasil pembagian tetapi mempertanggungjawabkan juga proses yang melandaskan pembagian atau pemilikan. Keberatannya juga berlaku untuk prinsip perbedaan dari Rawls karena Rawls melihat keadaan aktual dari mereka yang minimal untung dan tidak memperhatikan mereka sampai terjerat dalam keadaan itu.
Kesimpulan Nozick adalah bahwa keadilan harus ditegakkan, jika diakui bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya (seperti hasil kerja) sebagai satu-satunya landasan hak. Ia juga berpendapat bahwa prinsip dasar Immanuel Kant juga harus dipegang teguh. Tidak pernah menjadi adil memerangi kemiskinan dengan memaksakan perubahan struktural dalam masyarakat. Membantu orang miskin memang merupakan solidaritas tetapi kewajiban itu termasuk etika pribadi dan haknya hanya boleh dijalankan dengan keputusan-keputusan bebas.

ς 6. Keadilan ekonomis

Keadilan memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk dimilki atau dipakai. Sejarawan ide sosial dan politik yang berkebangsaan Kanada, C.B. MacPherson, berpendapat bahwa dalam zaman modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi dengan kuatnya sekitar pertengahan abad ke 19 dan berperang penting dalam demokrasi-demokrasi parlementer sepangjang abad ke 20.
Masyarakat tidak mungkin dikatakan diatur dengan baik kalau tidak ditandai dengan keadilan. Namun alangkah lebih baik keadilan harus berperan pada tahap sosial maupun individual. Juga dalam konteks ekonomi dan bisnis. Keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat, tetapi keadilan merupakan juga keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis secara pribadi. Supaya dapat hidup dengan baik, disamping nilai-nilai ekonomis, pebisnis pun harus memberi tempat juga kepada nilai-nilai moral yaitu yang terpenting adalah keadilan.

Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan

iga kewajiban karyawan yang penting

Kewajiban ketaatan

           Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Tetapi, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Selain itu karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Kemudian, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.
          
Kewajiban konfidensialitas

            Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial dan kareana itu rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Konfidensialitas berasal dari kata Latin confidere yang berarti mempercayai. Dalam konteks perusahaan konfidensialitas memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses kepada informasi rahasia. Sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan karena alasan etika mendasari kewajiban ini yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka rahasia itu berarti sama saja dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada barang fisik saja, tetapi meliputi juga ide, pikiran, atau temuan seseorang. Dengan kata lain, disamping milik fisik terdapat juga milik intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan adalah intellectual property rights dari perusahaan.  Alasan kedua adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas.

Kewajiban loyalitas

         Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan.
          Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersain dengan kepentingan perusahaan. Karena bahay konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis pekerjaan tidak boleh dirangkap.
           Dalam konteks ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi / hadiah selaku karyawan perusahaan. Masalh komisi berkaitan erat dengan apa yang sekarang dikenal sebagai triade “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)”. Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar tergantung dari sikap yang diambil perusahaan bersangkutan. Begitupun tantang hadiah yang diberikan oleh perusahaan / intansi lain kepada karyawan waktu menjalankan tugasnya. Hal itu dimaksudakan untuk mempengaruhi karyawan tersebut. Jalan keluarnya pun dengan membuat peraturan yang jelas dalam kode etik perusahaan / dengan cara lain.
           Selain memiliki kewajiban karyawan pun memiliki hak.Hak itu dicantumkan dalam kontrak kerja, dimana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahaukan satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan perusahaan. Kewajiban loyalitas memang tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja.

Melaporkan kesalahan perusahaan

        Dalam etika, whistle blowing mendapat arti khusus yaitu menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam rangka bisnis whistle blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal. Whistle blowing internal dimengerti pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal adalah pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.
        Pelaporan kesalahan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat berbeda. Di satu pihak seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Dilain pihak justru disebut sebagai penghianat, karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan.
         Dari sudut pandang etika jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas. Kalau memang diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam bidang kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih mendesak. Jadi, kadang-kadang mungkin ada kewajiban untuk melaporkan suatu kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit sekali untuk memastikan kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi. Pada kenyataannya hati nurani si pelapor harus memutuskan hal itu, setelah mempertimbangkan semua faktor terkait. Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila memenuhi syarat berikut :

Kesalahan perussahaan harus besar
Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.
Penyelesdaiaan masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar.
Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
Adanya whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan mempunyai kebijakan etika yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu terjadi.

ς  2. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan

                  Berturut-turut akan dibicarakan tentang kewajiban perusahaan untuk tidak diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas dan untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Kewajiban perusahaan biasanya sepadan dengan hak karyawan.

Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi

         Diskriminasi adalah masalah etis yang baru nampak dengan jelas dalam paro kedua dari abad ke 20. Biasanya mengenai warna kulit dan gender (jenis kelamin). Di Indonesia diskriminasi timbul berhubungan dengan status asli / tidak asli, pribumi / non-pribumi, dari para warga negara dan agama.

Diskriminasi dalam konteks perusahaan

       Istilah diskriminasi berasal dari bahas Latin “discernee” yang berarti membedakan, memisahkan, memilah. Dalam konteks perusahaan diskriminasi dimaksudkan membedakan antara pelbagai karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dari prasangka. Membedakan antara karyawan tentu sering terjadi karena alasan yang sah. Dalam menerima karyawan baru, perusahaan sering menentukan syarat seperti mempunyai pengalaman kerja sekian tahun, memiliki ijazah S-1 (malah bisa ditambah dengan IPK minimal 2,75), menguasai bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis dll. Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus akhir tahun karena lebih berprestasi daripada karyawan lainnya. Hal-hal diatas adalah alasan yang relevan.
      Bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhdap ras, agama atau jenis kelamin bersangkutan. Dengan kata lain, latar belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme / seksisme.
Argumentasi etika melawan diskriminasi

1). Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalm rangka pasar bebas, menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan memperhatikan faktor-faktor lain selain kualitas karyawan ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Karena itu perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.

2) Deontologi berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat 
    dari orang yang didikriminasi.Berarti tidak menghormati martabat 
    manusia yang merupakan suatu pelanggaran etika yang berat.

3) Teori keadilan berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan dengan keadilan, khususnya keadilan distributif / keadilan membagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Pikiran itu sudah dikenal sebagai prinsip moral keadilan distributif.

Beberapa masalah terkait

          Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial / budaya dalam masyarakat. Karena keterkaitan dengan faktor sejarah dan sosio-budaya ini, masalah diskriminasi tidak bisa ditangani dengan pendekatan hitam putih. Artinya tergantung dengan tempatnya sehingga bersifat relativitas.
            Dalam konteks perusahaan, favoritisme dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus dll. Seperti diskriminasi, favoritisme pun memperlukan orang dengan cara tidak sama, tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak terjadi karena prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif (mengutamakan orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutamakan karyawan yang berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dll. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang etika. Dengan itu pula lebih mudah dihindari nepotisme, yang bertentangan dengan keadilan distributif. Tetapi sulit untuk ditentukan pada saat mana favoritisme pasti melewati ambang toleransi etika.
           Untuk menanggulangi akibat diskriminasi, kini lebih banyak dipakai istilah affirmative action “aksi afirmatif”. Melalui aksi itu orang mencoba mengatasi / mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya di diskriminasi.
Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja

a)      Beberapa aspek keselamatan kerja

          Keselamatan kerja dapat terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja itu aman kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan / penyakit.
           Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Sedangkan di Amerika Serikat  didirikan Occupational Safety and Health Administration (OSHA) untuk mengawaasi pelaksanaan UU yang bertujuan untuk to assure as far as possible every working man and woman in the nation safe and healthful working conditions.

b)      Pertimbangan etika
Tiga pendasaran segi etika dari masalah perlindungan kaum pekerja.
The right of survival (hak untuk hidup)
Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.
Kewajiban etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat.
Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan beresiko. Si pekerja sendiri harus mengambil resiko dengan sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini, perlu beberapa syarat :
Harus tersedia pekerjaan alternatif.
Diberi informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya sebelum si pekerja mulai bekerja.
Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin.
c)      Dua masalah khusus
 Si pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi tentang risiko bagi pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang lebih tinggi) dan resiko bagi keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih rendah. Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan, terkadang secara tidak langsung terlihat memaksakan kepada para pekerja jika didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari pekerjaan lain menjadi sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki alternatif lain dan akhirnya bertahan dengan resiko yang tidak kecil.
Kewajiban memberi gaji yang adil
        Motivasi seseorang untuk bekerja tidak lepas dari untuk mengembangkan diri, memberi sumbangsih yang berguna bagi pembangunan masyarakat namun yang sangat penting adalah untuk memperoleh upah atau gaji. Namun dalam gerakan sosial zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok perjuangan yang utama.

Menurut keadilan distributif

                     Gaji / upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan 
     keadilan, khususnya keadilan distributif. Di kebanyakan negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperan.Prinsip perrtama adalah bagian yang sama. Supaya adil, gaji semua karyawan memang tidak perlu sama, tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu besar. Jelas pemerataan pendapatan adalah tuntutan etis yang berkaitan dengan prinsip ini. Prinsip-prinsip hak, usaha dan kontribusi kepada masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia masalah gaji yang adil disinggung juga. Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take home pay saja. Fasilitas khusus seperti rumah, kendaraan, bantuan beras dll harus dipandang sebagai imbalan kerja. Lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun dll. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.

Enam faktor khusus

                  Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski supaya gaji / upah itu adil / fair :

Peraturan hukum

                  Di sini yang paling penting adalah ketentuan hukum tentang upah minimum sebagai salah satu perjuangan sosialisme dalam usahanya memperbaiki nasib kaum buruh. Adanya upah minimum berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah.

Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu

         Dalam semua sektor industri, gaji / upah tidaklah sama. Karena itu rupanya suatu kriteria yang baik adalah : gaji / upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberika dalam sektor industri bersangkutan asalkan keadaan di sektor itu cukup mantap. Namun gaji yang sama belum tentu menjamin daya beli yang sama. Karena perbedaaan daya beli itu di Indonesia upah minimum ditetapkan sebagau upah minimum regional (UMR).
Kemampuan perusahaan

              Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi gaji yang lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin laba yang kecil saja. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Harus dinilai tidak etis, bila perusahaan mendapat untung besar dengan menekan gaji karyawan.

Sifat khusus pekerjaan tertentu

              Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalani oleh orang yang mendapat pendidikan / pelatihan khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.

Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan

             Kalau pekerjaan tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih ama / mengandung resiko tertentu, maka gaji / upah harus sama. Sehingga berlaku prinsip equal pay for equal work.

Perundingan upah / gaji yang fair

        Perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara yang ampuh untuk mencapai gaji dan upah yang fair. Tentu saja, perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak perusahaan. Lebih bagus bila perundingan gaji itu dilakukan untuk suatu sektor industri sehingga dihasilkan kesepakatan kerja bersama.

Senioritas dan imbalan rahasia

Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari pengalamannya bekerja dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya pada perusahaan, zaman sekarang sudah tidak diperhitungkan lagi. Zaman modern sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran sama untuk pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan karenanya dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan berkurang.
             Pembayaran khusus / kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja pun tidak etis karena tidak mengadakan kontrol sosial dan akan merusak suasana kerja. Jelas, disini berlaku prosedur yang terbuka dan demokratis untuk menjamin mutu etis sebuah sistem.

Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena

1)      Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
2)      Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya.
3)      Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan samapai seminimal mungkin.
ς  3. Beberapa Kasus

Berikut adalah beberapa kasus yang terkait dengan Kewajiban Karyawan dan Perusahaan :

Bank Daiwa di Amerika Serikat
Nick Leeson dan Barings Bank
Membantu istri
Perintah atasan
Daftar pelanggan
Donald Wohlgemuth dan Goodrich
Teknisi komputer
Membeli gorden dan karpet
Pertamina vs Ny. Kartika Thahir c.s
Golden Key Group dan Bapindo
Laporan akuntan dipermainkan
Hadiah mobil
Pelumas palsu
Lulusan dalam dan luar negeri
Dilarang merokok
Diskriminasi terhadap Yahudi
Keponakan manajer personalia
Perusahaan asbes Johns-Manville